MEDAN - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Riachad Sihombing dan Chandra Priono Naibaho menghadirkan Mimiyanti sebagai saksi dalam perkara dugaan penggelapan harta warisan orangtua miliaran rupiah dengan terdakwa David Putranegoro alias Lim Kwek Liong di Ruang Cakra VI Pengadilan Negeri (PN) Medan, Kamis (16/9) siang.
Di hadapan Hakim Ketua, Dominggus Silaban, Mimiyanti sebagai salah satu ahli waris menjelaskan bahwa ia keberatan dengan terbitnya Akta Perjanjian Kesepakatan Nomor : 8 tanggal 21 Juli 2008.
Mimiyanti mengaku saat Akta Perjanjian Kesepakatan itu dibuat, dia tidak mengetahuinya secara persis. Yang dia tahu tanda tangan di akta itu untuk pembagian uang dan dividen (pembagian laba perusahaan). Namun belakangan, pada tahun 2018 dia tahu malah disalahgunakan oleh terdakwa untuk membuat akta Nomor 8, hingga akhirnya ia pun nelaporkan ke Polisi.
"Kami tidak terima karena dibuat untuk 30 tahun," cetusnya.
Sementara itu mengenai kunci brankas, Mimiyanti mengungkapkan awalnya dia memegang kunci brankas yang menyimpan puluhan sertifikat. Namun, saat dirinya hendak ke Jakarta, kunci brankas diminta oleh terdakwa David.
"Aku dipercayai ayah megang kunci brankas. Waktu ke Jakarta, kunci diminta David (terdakwa). Terus enggak dikasihnya lagi saat aku kembali ke Medan," jelasnya.
Sampai saat ini, saksi tidak mengetahui di mana letak sertifikat tersebut berada. "Gak tau semua (sertifikat) karena bukan saya yang pegang," ucapnya.
Terpisah, tim kuasa hukum Jong Nam Liong (korban/pelapor) yakni Longser Sihombing SH MH mengatakan, pernyataan saksi Mimiyanti sangat jelas bahwasanya akta nomor 08 itu palsu dan sewaktu tandatangan juga diberikan satu lembar. "Hal itu sesuai dengan laporan dari korban/pelapor," katanya.
Dia berharap, agar majelis hakim dan JPU dapat fokus pada materi dakwaan serta tidak berkembang yang tidak sesuai dengan dakwaan. "Kami berharap majelis hakim dapat berlaku adil," harap Longser.
Dalam dakwaan JPU Chandra Priono Naibaho, pengusaha minuman Vigour tersebut adalah anak dari mendiang Jong Tjin Boen. Jong Tjin Boen memiliki dua orang istri. Istri pertama adalah mendiang Lim Lian Kau dan istri kedua adalah mendiang Choe Jie Jeng.
Dari Lim Lian Kau, Jong Tjin Boen punya sembilan anak dan Lim Kwek Liong adalah anak ketujuh. Sementara dari Choe Jie Jeng, Jong Tjin Boen punya tiga anak. Pada tanggal 30 Juni 2008 sampai 5 September 2008, Jong Tjing Boen berada di Singapura dalam rangka pengobatan. Pada 5 September 2008, Jong Tjin Boen meninggal dunia di Rumah Sakit Mount Elisabeth Singapura.
"Saat Jong Tjin Boen sedang menjalani pengobatan, terdakwa Lim Kwek Liong mendatangi Kantor Notaris Fujiyanto Ngariawan (berkas terpisah) untuk membuat Akta Perjanjian Kesepakatan. Tujuannya, agar terdakwa dan Lim Soen Liong alias Edy (berkas terpisah) dapat menguasai seluruh harta Jong Tjin Bun," ujar JPU.
Harta yang dimaksud yakni Sertifikat Hak Milik (SHM) dan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB), baik harta bergerak maupun tidak bergerak milik Jong Tjin Boen yang disimpan di dalam brankas rumah Jalan Juanda III Nomor 30-C Medan tanpa sepengetahuan dari saksi korban dan ahli waris.
Selanjutnya, terdakwa menyuruh Fujiyanto membuat isi yang tercantum dari Akta Perjanjian Kesepakatan Nomor: 8 tanggal 21 Juli 2008, sesuai dengan apa yang dikonsep dan sekaligus menyerahkan fotocopy kartu identitas masing-masing pihak yang tercantum. Lalu, terdakwa dan Lim Soen Liong serta Fujiyanto sepakat menyatakan bahwa Akta Perjanjian Kesepakatan tersebut telah dibuat pada Juni 2008 di rumah Jong Tjin Boen.
Pada waktu itu, Jong Tjin Boen masih hidup dan berada di Medan agar seolah-olah akta tersebut benar dibuatnya. Padahal di waktu tersebut, Jong Tjin Boen sudah berada di Singapura untuk menjalani pengobatan. "Isi dari Akta Perjanjian Kesepakatan adalah tidak benar adanya karena bukan dibuat oleh yang bersangkutan (Jong Tjin Boen)," cetus Chandra.
Pada September 2008 setelah Jong Tjin Boen meninggal, terdakwa dan Lim Soen Liong secara bergantian pernah meminta saksi korban serta ahli waris untuk membubuhkan tandatangan dan sidik ibu jari pada surat yang telah dipersiapkan.
Sebahagian isinya diketahui oleh saksi korban adalah menyangkut pembagian deviden perusahaan, harta kepemilikan tanah, harta bergerak dan harta tidak bergerak yang mana SHM atau HGB disimpan dalam brankas milik Jong Tjin Boen. Pada Desember 2010, terdakwa meminta kunci brankas milik Jong Tjin Boen kepada Mimiyanti.
Setelah itu, terdakwa dan Lim Soen Liong menguasai harta serta mengambil alih kekuasan untuk membagi deviden usaha Vigour kepada seluruh ahli waris dan menjual harta peninggalan Jong Tjing Boen secara sepihak tanpa adanya persetujuan atau izin dari saksi korban maupun ahli waris.
"Isi dari Akta Perjanjian tersebut menjadikan terdakwa sebagai pengendali atau yang dipercayakan untuk menyimpan maupun untuk melakukan jual beli dari bagian harta peninggalan milik Jong Tjin Boen," beber JPU.
Saat Akta Perjanjian tersebut dibuat, saksi korban dan Jong Tjin Boen serta ahli waris tidak pernah menerima salinan sehingga tidak pernah mengetahui isinya. Akibat perbuatan terdakwa bersama Lim Soen Liong dan Fujiyanto, membuat saksi korban dan ahli waris Jong Tjin Boen mengalami kerugian. Karena saksi korban dan ahli waris tidak dapat menerima hak-hak yang seharusnya diterima.
"Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 266 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana," pungkas Chandra. (Red)